4.KERAJAAN BANTEN
Kesultanan Banten
Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah
berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika
Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa,
dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai
pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan
dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin
mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi
pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan
mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa
telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan
dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta
ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten
atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun
1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan
dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak
lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan awal.
De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving)
karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3]
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten
Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak
di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan
wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya
kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap
dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir
Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan
Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun
1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana
Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di
Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia
juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau,
Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja
tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah
meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak,
mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak
dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi
Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai
Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia
menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada
tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini
Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan
kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten
kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]
Puncak kejayaan.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan
mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas
perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai
pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu
pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut berkembang ke
seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris,
Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Cina dan Jepang.[10]
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang
sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan,
dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada
Kesultanan Banten.[12] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan
Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[13] Pada masa ini Banten juga
berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah
melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang saudara.
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan
Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan
putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang
saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan
Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang
utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan
serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur
dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada
28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan
Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap
kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan
pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat
letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan
Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di
mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara
setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri.
Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput
Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia,
mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun
terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos
pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7
Februari 1684 sampai di Batavia.[15]
Penurunan.
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar
dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji
kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang
berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian
tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan
lada di Lampung.[16] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684,
Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada
VOC.[17]
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai
mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda
di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji
namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya
Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan
kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan
ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa
Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya
VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir
pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya
perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan
Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan
rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]
Penghapusan kesultanan
Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C.
Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia
Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri
Sultan Banten, pada tahun 1933
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk
mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[19] Daendels memerintahkan
Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga
kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan
dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam
wilayah Hindia Belanda.[20]
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh
pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford
Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat
Kesultanan Banten.
Agama.
Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten
dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti
Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati
bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif
kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga
mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf
mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan
penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan
Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan
para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring
itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya
masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi
yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat
pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan
Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di
pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik.
Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun
sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa
klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
Kependudukan.
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk
yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara
kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar,
Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di
Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang
siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut
sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang
paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus
yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang
mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika
keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan
berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan
lansia.[23]
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan
bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian
serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun
pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah
yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten
beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark
dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
Perekonomian.
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di
bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah
mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa
kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh
kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda
ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek
(pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem
ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung,
kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan
pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km
kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di
sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektare sawah baru dan
ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas
tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang
didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan
Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[13]
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah
menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya
menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa
tersebut.[23]
Pemerintahan.
Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri,
penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat
gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang
disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan
gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam
administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok
bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan
golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas
kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai
yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan
pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta
parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten
dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi
sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten
berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama
Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan
oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya.
Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi
oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.[13]
Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis
tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal
yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang
berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal
pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
ARSIP SEJARAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar